Ini Tugas bhs indonesia sewaktu sma disuruh ngeresensi yaudeh jadinya gini deh dan novel yang di resensi masih ada kok hahaha
Judul Resensi : kisah seorang anak Jakarte yg kritis juga romantis
Penerbit : Ufuk Press / Rahat books
Edisi : Soft Cover
Penulis : Ben Sohib
Kategori : Fiksi
Halaman : 332
Harga : Rp. 45.370.00
Ukuran : 115×175
Tanggal Terbit : 2009.
Edisi : Soft Cover
Penulis : Ben Sohib
Kategori : Fiksi
Halaman : 332
Harga : Rp. 45.370.00
Ukuran : 115×175
Tanggal Terbit : 2009.
Sinopsis Novel The Da Peci
Code
Ini bukan kisah tentang misteri peci
suci ala cawan suci yg disembunyikan oleh para Biarawan Sion. Ini adalah kisah
menggelitik seorang anak Jakarte yg kritis juga romantis.. “Sebuah kisah yg
renyah.” FORUM Keadilan “Perbenturan nilai yg kerap terjadi antara anak &
ayah yg saling ngotot ini justru tergambar dgn kelucuan-kelucuan.” GATRA “Novel
ini bikin penasaran & menghibur deskripsi latar cerita & penuturan juga
ngalir banget. Rugi kalau dilewatkan.” ANNIDA “Novel ini menjadi oase di tengah
minim novel yg mengurai sejarah sosial & budaya masyarakat Arab-Betawi.”
Warta Kota “Kritis kocak & tak mengguncang iman.” Majalah Aneka Yess The Da Peci Code Misteri Tak
Berbahaya di Balik Tradisi Berpeci.
Resensinya
Jujur pertama kali saya baca nih novel kayaknya
ngebosenin tapi ternyatanya seiring ceritanya makin lama tuh makin seru karena
adanya selalu perbedaan pendapat ,kesalah pahaman , kelucuan yang ada dan
adanya cinta beda agama yaitu rosid dan delia yang sama tak ingin berpisah
karena Cuma berbeda agama itu lah yang dinamakan cinta sejati . Jadi novel
ini sangat membuat saya penasaran atas
ceritanya dan cukup menghibur kalian yang sedang galau.
Biarkan saya menyebut novel ini novel yang bertema
religi. Meski jika dilakukan pembandingan dengan novel-novel lain yang juga
bertema religi, novel ini memiliki gaya yang berbeda, yang seperti berpaling
dari kebiasaan bagaimana novel religi ditulis. The Da Peci Code memiliki
caranya sendiri dalam menyampaikan nilai-nilai religinya. Sebuah style yang
tidak menuntut pembaca untuk menyetujui setiap amanat yang disampaikan.
Ceritanya renyah, namun bukan berarti ringan. Lucu, namun tidak pantas disebut
kocak. Kritis, namun membangun. Serius, namun mengalir tenang.
Semua berawal dari keputusan Rosid untuk tidak
mencukur rambutnya. Bukan menjadikannya gondrong, melainkan kribo. Dan kabar
buruknya adalah bahwa ternyata keputusan itu benar-benar ditentang oleh Mansur,
sang ayah. Alasannya satu: tidak ditemukan di toko mana pun peci yang seukuran
rambut Rosid, yang sebesar kuali itu.
Bisa dibayangkan, betapa malunya Mansur saat
menghadiri acara keluarga al-Gibran (nama marga) bersama Rosid yang tidak
mengenakan peci putih, dengan rambut sebesar kuali pula! Sementara pada acara
itu semua yang berhadir mengenakan peci putih.
Memakai peci putih memang telah berabad-abad menjadi
tradisi di keluarga al-Gibran, telah merekat demikian kuatnya di kepala-kepala
orang-orang al-Gibran. Dan Rosid datang membawa pendapat yang kontroversial
tentang peci putih itu.
Pertengkaran demi pertengkaran antara ayah dan anak
pun terjadi. Puncaknya adalah terusirnya Rosid dari rumah. Itu dilakukan Mansur
karena emosinya yang telah terlampau besar. Betapa tidak? Telah berliter-liter
keringat ia kucurkan, berlembar-lembar rupiah ia keluarkan, juga berpikul-pikul
kesabaran ia relakan akibat ketidak berhasilan misinya untuk membuat Rosid mau
mencukur rambutnya dan kembali memakai peci seperti dulu, sebelum Rosid
memutuskan untuk tidak mencukur rambut.
Tidak sebatas itu konflik yang terjadi di antara
Rosid dan keluarganya. Kali ini soal cinta. Cinta yang dijalin Rosid dengan
seorang wanita pemilik nama Delia. Rosid memang mempunyai selera yang tinngi.
Delia cantik, indah, baik, ramah. Rosid amat mencintai Delia. Delia amat
mencintai Rosid. Lalu konfliknya? Lihat saja pada liontin salib yang
menggantung di leher Delia!
Saya sangat bersimpati kepada Rosid selaku tokoh
sentral. Kesan yang timbul darinya adalah sosok petakilan . Dulu kegiatannya
selepas SMA (karena ia tidak diizinkan melanjutkan ke IKJ) adalah menulis
cerpen, namun ia lebih sering dikisahkan berdiskusi di rumah Mahdi - yang
dikenal dengan Sanggar Banjir Kiriman - dan membaca buku. Terlebih saat ia
diusir dari rumah dan mengandalkan kiriman uang dari kakaknya, tujuan yang
diusungnya semakintak berisi . Saya tak menampik bahwa Rosid cerdas, terbukti
ia dapat menyerap ilmu dengan seketika dan langsung menggunakannya untuk
mendebat Ustadz Holid. Namun saya tidak berpihak pada Mansur atau yang lainnya.
Bukan berarti Da Peci Code hanya bacaan
'remeh-temeh'. Saya memperoleh pesan cukup banyak, antara lain metode
komunikasi anak dengan orangtua. Sudah semestinya seorang anak memaklumi
harapan orangtua, dan menjelaskan pendapat yang berbeda dengan cara lebih
bijaksana. Di samping itu, baik dan benar sering kali tidak seiring sejalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar